Dalam beberapa hari kedepan kita akan memasuki bulan Suro, bulan yang oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap keramat dan dianggap sebagai 'bulannya' Tuhan yaitu bulan yang tidak boleh diisi dengan kegiatan pesta pora yang sifatnya duniawi.
Pada bulan tersebut orang-orang Jawa yang masih memegang keyakinan tradisinya akan banyak melakukan kegiatan - kegiatan yang bersifat ritual, berkontemplasi mengevaluasi diri, membangun dan menguatkan kembali kesadaran relasi diri dengan bumi dan Gustinya.
Pusaka - Pusaka dibersihkan (jamasan), Upacara-upacara tradisi semacam merti desa, ruwat bumi, sedekah bumi, sedekah laut, mubeng benteng, tapa bisu, santunan anak - anak yatim dll digelar sebagai bagian dari laku tirakat yang menjadi 'jembatan upakara'nya.
Bagi generasi yang lahir di era tahun 80an atau lebih khusus lagi bagi yang telah hampir sempurna terputus pengetahuannya dengan pengetahuan 'mbah - mbah' kita dulu pastilah tidak mudah melihat sesuatu yang tak terlihat dibalik segala macam upacara tradisi itu. Sebab dalam ruang jaman modern yang mengedepankan logika dialektika materi upacara - upacara tradisi tersebut tak lebih dari instrumen wisata exotis yang patut dikemas sebaik mungkin demi mendapatkan keuntungan materi semata. Namun bagi masyarakat tradisi upacara - upacara tersebut adalah momentum yang menjadi media 'upakara' (laku atau siasat) untuk meningkatkan kwalitas kemanusiaannya dari sekedar manusia biasa menjadi insan kamil bahkan kalifatullah.
Bila dilihat lebih dekat lagi maka setidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan dari upacara - upacara di bulan Suro tersebut yaitu mengasah ketajaman budi dan membasuh malapetaka bumi. Dua hal tersebut adalah ajaran dari Sultan Agung Hanyakra Kusuma, ratu Mataram yang mempunyai predikat Ratu 'Gung Binanthara' sekaligus penganggit kalender jawa 'Pranata Mangsa' yang menjadikan 1 suro sebagai awal tahun baru jawa.
Mengasah ketajaman Budi, Epistimologi Jawa mengajarkan bahwa yang dimaksud 'Budi’ bukanlah akal fikir yang berbasis pada kecerdasan otak saja, tapi lebih dari itu 'Budi' menggabungkan kecerdasan otak dengan hati nurani atau 'rasa jati'. Sehingga, penggabungan unsur - unsur ini akan melahirkan sikap bijaksana yaitu sikap yang secara sederhana dapat diartikan sebagai cara pandang yang tepat dalam bersikap memahami dan menghadapi setiap keadaan atau peristiwa. Upacara tradisi yang diarahkan untuk mengasah ketajaman Budi ini biasanya berupa laku yang diarahkan untuk memperbaiki diri, dimulai dari membersihkan badan dan bathinnya lalu mengikuti upacara 'tapa bisu' sebagai sarana mengevaluasi diri (muhasabah) sambil berputar mengelilingi benteng keraton atau desa atau rumah tinggalnya dengan arah putaran yang melawan arah jarum jam sebagai simbol putaran prasawiya untuk membangun hubungan ilahiah antara diri dengan Gustinya. Termasuk dalam laku mengasah ketajaman budi adalah tradisi jamasan pusaka.
Hal ini bisa dilihat pada jejak simbol arsitektur masjid kuna yang biasanya bertajuk tiga atau penamaan Kosmografi dalam ruang Kamadhatu, Rupadatu dan Arupadhatu di Candi Borobudur atau juga penyebutan alam asor bagi dunia binatang, setan dan jin 'bekasakan', alam madya bagi dunia manusia dan alam inggil bagi dunia 'langitan' yang berpenghuni para malaikat dan para kekasih-NYA.
Pada tiga ruang tersebut ada sedekah, bertawassul dan berdzikir untuk dunia atas, memberi makanan atau sebagian hartanya (santunan) untuk dunia tengah dan memberi 'makanan' bagi binatang atau sesaji-an bagi dunia bawah.
Semua itu tak jarang dilakukan secara bersamaan dalam sebuah acara tradisi yang bersifat komunal dengan tajuk sedekah bumi, sedekah laut, merti desa, merti gunung, ruwat jagad, santunan anak yatim dan lain-lain.
Mengasah ketajaman budi dengan terus mengevaluasi diri agar menjadi lebih baik lagi diiringi dengan membasuh malapetaka bumi melalui berbagai upacara sedekah adalah dua hal yang menurut Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma diperlukan sebagai bekal untuk bisa 'memayu hayuning bawana' ,membuat tatanan dunia yang sudah indah ini menjadi lebih indah lagi.
Semoga catatan kecil ini bisa menjadi bagian dari upaya membangun jembatan pengetahuan bagi anak cucu dengan leluhurnya agar tersambung kembali paradigma tradisi sehingga terus terjaga keselarasan hubungan antara jagad gumelar (makrokosmos) dengan jagad gumulung (mikrokosmos).