Di Dalam bulan suro, bulan yang oleh sebagian masyarakat jawa dianggap keramat dan dianggap sebagai 'bulannya' Tuhan yaitu bulan yang tidak boleh diisi dengan kegiatan pesta pora yang sifatnya duniawi.
Pada bulan tersebut orang - orang jawa yang masih memegang keyakinan tradisinya akan banyak melakukan kegiatan - kegiatan yang bersifat ritual, berkontemplasi mengevaluasi diri, membangun dan menguatkan kembali kesadaran relasi diri dengan bumi dan Gustinya.
Setiap Malam 10 Muharram di desa dukuhsalam mengadakan acara yang menjadi tradisi yaitu sedekah bumi, di acara tersebut terdapat berbagai acara salah satunya iyalah membawa gunungan yang berisi sayur,buah,makanan yang dijadikan seperti tumpeng , kemudian gunungan tersebut dibawa atau diarak keliling desa diiringi pawai obor , calung, dan manyarakat khususnya desa dukuhsalam.
Setelah Diarak keliling desa kemudian gunungan tersebut di taroh pada 2 situs yaitu situs karang asem & Situs kethu agung. Disitus tersebut Masyarakat mengadakan doa Bersama dan tahlil serta dilanjut dengan makan Bersama dengan memakan Nasi bunggon(sega bunggon). Sega bunggon sendiri adalah makanan nasi yang dicampur dengan bumbu – bumbu yang menjadi ciri khas yang ada didesa dukuhsalam. Setelah acara makan – makan selesai gunungan tersebut pun akan direbut oleh Masyarakat dengan berebutan.
Manfaat sedekah bumi menurut Teguh puji Harsono (TPH)- Seorang budayawan Kab.tegal sekaligus budayawan di desa dukuhsalam”.
Bahwa Bila dilihat lebih dekat lagi maka setidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan dari upacara - upacara dibulan suro tersebut yaitu: mengasah ketajaman budi dan membasuh malapetaka bumi.
Dua hal tersebut adalah ajaran dari Sultan Agung Hanyakra Kusuma, ratu Mataram yang mempunyai predikat Ratu 'gung binanthara' sekaligus penganggit kalender jawa 'Pranata mangsa' yang menjadikan 1 suro sebagai awal tahun baru jawa.
- Mengasah ketajaman Budi
Epistimologi jawa mengajarkan bahwa yang dimaksud 'Budi’ bukanlah akal fikir yang berbasis pada kecerdasan otak saja, tapi lebih dari itu 'Budi' menggabungkan kecerdasan otak dengan hati nurani atau 'rasa jati' sehingga penggabungan unsur - unsur ini akan melahirkan sikap bijaksana yaitu sikap yang secara sederhana dapat diartikan sebagai cara pandang yang tepat dalam bersikap memahami dan menghadapi setiap keadaan atau peristiwa.
Upacara tradisi yang diarahkan untuk mengasah ketajaman Budi ini biasanya berupa laku yang diarahkan untuk memperbaiki diri, dimulai dari membersihkan badan dan bathinnya lalu mengikuti upacara 'tapa bisu' sebagai sarana mengevaluasi diri (muhasabah) sambil berputar mengelilingi benteng keraton atau desa atau rumah tinggalnya dengan arah putaran yang melawan arah jarum jam sebagai simbol putaran prasawiya untuk membangun hubungan ilahiah antara diri dengan Gustinya.
Termasuk dalam laku mengasah ketajaman budi adalah tradisi jamasan pusaka.
Tembung lingga dari kata Jamasan adalah jamas yang artinya membersihkan atau cuci. Jamas adalah bahasa Jawa kromo inggil (tingkatan paling tinggi/halus), sementara bahasa ngoko-nya (paling kasar) adalah kumbah.
Sehingga, jamasan bisa diartikan sebagai kegiatan mencuci, membersihkan, atau memandikan atau ngumbah, sedangkan pusaka diartikan sebagai benda keramat karena didalamnya membawa sistem simbol dari ajaran nilai - nilai luhur yang diturun temurunkan melalui media benda tersebut.
- Membasuh malapetaka bumi
pengetahuan sedekah diartikan sebagai pencegah bala atau malapetaka.
Orang Jawa tidak bersedekah hanya kepada manusia saja, akan tetapi juga kepada seluruh makhluk ciptaan Gusti Kang Akarya Jagad.
Konsepsi ini lahir dari pengalaman berkebudayaan orang jawa yang terpengaruh oleh geokultur spiritualnya dimana jagad atau dunia itu difahami sebagai ruang yang terbagi menjadi tiga dan disebutnya dengan istilah Tri buana atau Tri loka.
Tri artinya tiga. Loka artinya tempat atau ruang dan buana artinya dunia. Tiga dunia atau tiga ruang itu adalah : dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah.
Hal ini bisa dilihat pada jejak simbol arsitektur masjid kuna yang biasanya bertajuk tiga atau penamaan Kosmografi dalam ruang Kamadhatu, Rupadatu dan Arupadhatu di Candi Borobudur atau juga penyebutan alam asor bagi dunia binatang, setan dan jin 'bekasakan', alam madya bagi dunia manusia dan alam inggil bagi dunia 'langitan' yang berpenghuni para malaikat dan para kekasih-NYA.
Pada tiga ruang tersebut ada sedekah , bertawassul dan berdzikir untuk dunia atas, memberi makanan atau sebagian hartanya (santunan) untuk dunia tengah dan memberi 'makanan' bagi binatang atau sesaji-an bagi dunia bawah.
Semua itu tak jarang dilakukan secara bersamaan dalam sebuah acara tradisi yang bersifat komunal dengan tajuk sedekah bumi, sedekah laut, merti desa, merti gunung, ruwat jagad, santunan anak yatim dll.
Mengasah ketajaman budi dengan terus mengevaluasi diri agar menjadi lebih baik lagi diiringi dengan membasuh malapetaka bumi melalui berbagai upacara sedekah adalah dua hal yang menurut Sinuwun Sultan Agung Hanyakrakusuma diperlukan sebagai bekal untuk bisa 'memayu hayuning bawana' ,membuat tatanan dunia yang sudah indah ini menjadi lebih indah lagi.
Penulis : ILHAM SYAHRIN R